Jabatan |
Jabatan merupakan suatu persoalan
besar yang akan menjadi bahan pertanggung jawaban di akhirat kelak. Karena itu,
tidak sepantasnyalah kita mengejar jabatan dengan segala cara. Namun, apabila
di kemudian kita diberi jabatan, maka itu harus dikerjakan dengan
sebaik-baiknya dan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.
Dipersinggahan suatu perjalanan
Nabi SAW meminta sahabat-sahabatnya menyiapkan makanan dengan menyembelih
seekor kambing. Seketika iti di beberapa orang dari sahabat itu berkata, “Wahai
Rasulullah, saya yang akan menyembelih kambing”. Yang lain mengatakan, “Saya
yang akan mengulitinya, aku yang memasaknya,” sahut sahabat yang lain tidak mau
ketinggalan berbakti kepada beliau.
Nabi tersenyum mendengar perkataan
dan kesediaan para sahabat itu. Lalu beliau berkata, “aku yang akan
mengumpulkan kayu bakarnya.” Mendengar perkataan beliau, hampir serentak para
sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sudahlah engkau tidak usah bekerja”.
Nabi langsung mengatakan, “Aku
tahu kalian akan mencukupiku, tetapi aku membenci bila aku dilebihkan di antara
kalian. Sesungguhnya Allah membenci hamba-Nya yang menginginkan diperlakukan
istimewa di antara sahabat-sahabatnya”.
Demikianlah seorang pemimpin
seharusnya. Setiap pemimpin perlu, bahkan harus meneladani kepemimpinan Nabi
SAW. Meski sebagai pemimpin, bahkan sebaik-baiknya manusia, beliau selalu
berusaha populis, merakyat.
Juga, sebagai pemimpin beliau
tidak hanya sebagai pemegang komando, “tukang perintah”, tetapi beliasu turut
serta bekerja, berbaur bersama rakyatnya. Diantaranya terbukti beliau selalu
hadir berperang bersama kaum Muslimin pun beliau tidak malu ikut mengangkat
batu, menggalu parit, ketika terjadi pada perang khandak.
Selain itu, beliau menjauhkan
sikap otoriter. Beliau sering berdialog atau bermusyawarah dengan pengikutnya,
menerima masukan atau ide dari bawahannya, seperti ide siasat pada perang
khandak.
Oleh karena itu, menurut Abbas
Mahmud Aqqad dalam bukunya Abqariah Muhammad SAW, di antara keistimewaan
kepemimpinan Nabi SAW adalah beliau sangat menyayangi dan mengayomi orang lemah
atau fakir miskin, dan populis. Beliau tidak segan atau tidak malu-malu
mengayomi, bergaul dengan kalangan kelas bawah, wong cilik.
Dalam suatu riwayat disebutkan
beliau dengan senang hati makan bersama pembantunya, duduk-duduk, berbicara
dengan budak-budak. Bahkan beliau menyatakan bahwa siapa yang tidak menyayangi
orang-orang lemah, itu berarti di luar golongannya. Seperti disebutkan dalam
sabdanya,
“Barangsiapa tidak menyayangi
orang-orang lemah di antara kita dan tidak mengetahui hak orang-orang terhormat
di antara kita, maka bukan termasuk golongan kami”.
Sikap-sikap kepemimpinan Nabi SAW
itulah, di antaranya, yang menjadikan beliau sangat dicintai dan dihormati
rakyatnya. Karena itu pemimpin yang ingin dicintai dan dihormati rakyatnya
hendaknya memperhatikan wong cilik, populis, berbaur, dan tidak otoriter, dalam
mengambil keputusan dan sudah seharusnyalah mengikuti konsep kepemimpinan
Rasulullah SAW.
Hakekat Jabatan
Kepemimpinan erat kaitannya
dengan jabatan. Dalam hal ini, suatu ketika, Abdurrahman bin Samurah diberi
wasiat oleh rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah sekali-sekali kamu meminta jabatan atau kekuasaan. Karena, jika
engkau memperolehnya karena sebab meminta, maka engkau akan menanggung beban
yang begitu berat. Tapi, jika ia engkau peroleh bukan karena engkau memintanya,
maka engkau akan dibantu Allah dalam melaksanakannya”. (HR. Abu Dawud).
Benar adanya, jabatan atau
kekuasaan, baik di pemerintahan, lembaga atau bahkan di organisasi adalah salah
satu kenikmatan duniawi yang sering membuat orang silau. Banyak yang bermimpi
mendapatkannya, meskipun harus menempuh cara-cara negative yang dilarang agama.
Dalam konteks ini, ada 2 (dua) prototype
orang. Yakni :
- Pertama, orang yang menggunakan segala macam cara guna meraih jabatan, meskipun mungkin merugikan diri sendiri maupun orang lain. Bagi orang seperti ini, jabatan adalah segalanya, karena ia dapat memberikan kenikmatan yang luar biasa besarnya.
- Kedua, orang yang melihat ‘biasa saja’ terhadap jabatan, karena ia tahu jabatan atau kedudukan adalah tanggung jawab yang mesti dijaga sebaik mungkin. Untuk itu, ia akan berusaha semaksimal mungkin menggunakan jabatan itu untuk menciptakan kemaslahatan, tidak hanya untuk dirinya tapi juga unutk orang lain.
Dalam hal ini, agama sangat
mengecam model orang yang ambisius terhadap jabatan. Jabatan yang mereka
peroleh justru akan memberikan banyak kemudlaratan bagi orang lain ketimbang
kemaslahatan. Model ini juga meniscayakan adanya banyak kecurangan dan
ketidakjujuran yang berujung pada penggerogotan atau penyalahgunaan jabatan
itu, demi meraih keuntungan pribadi semata. Jabatan bagi model ini adalah
sebuah tujuan final yang harus diambil selagi sempat. Penghambaan terhadap
jabatan, dengan demikian menjadi inti dari segala gerak hidupnya.
Yang ideal adalah model kedua,
yang justru jarang sekali kita temukan dalam kehidupan saat ini. Karena, ia
meniscayakan adanya kejujuran, komitmen, kapabilitas, dan kesadaran akan
tanggung jawab dalam menjalankannya. Di matanya, Jabatan Sebagai Anugerah Sekaligus
Amanah, yang mesti disyukuri dalam bentuk kerja riil dan jelas, bertujuan untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat.
Contoh, model ini banyak kita
temukan pada pribadi para sahabat Nabi SAW, seperti Abu Bakar dan Umar bin
Khattab, ketika mereka dilantik secara aklamasi oleh umat Islam menjadi khalifah.
Mereka justru menangis, bukannya gembira karena mereka tahu bagaimana beratnya
memegang sebuah jabatan.
Jabatan, dengan demikian
sesungguhnya bukanlah ‘arena permainan’ yang dapat diraih denga berbagai macam
cara dan diselewengkan secara tidak bertanggungjawab. Jabatan merupakan suatu
persoalan besar yang akan menjadi bahan pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Karena itu, tidak sepantasnyalah kita mengejar jabatan dengan segala cara. Namun,
apabila di kemudian kita diberi jabatan, maka itu harus dikerjakan dengan
sebaik-baiknya dan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.
0 komentar:
Post a Comment